May Day 1Setiap tanggal satu Mei, kita semua turun ke jalan, berteriak menyatukan suara. Meskipun suara kita serak tertahan, namun tetap saja memaksa diri berteriak sekeras-kerasnya.  Buruh dan kaum pekerja dari seluruh dunia meneriakkan satu suara, satu keinginan, satu harapan, akan datangnya perbaikan nasib.

Di Kota Makassar, sebanyak 2500 buruh turun ke jalan, berteriak di seluruh penjuru kota di hadapan ribuan pasang mata aparat keamanan.

Selalu sama dengan yang lalu-lalu, upah yang rendah, tidak terpenuhinya hak-hak dasar, minimnya kepedulian pengusaha atas kesejahteraan buruh dan karyawan, selalu itu yang menjadi tuntutan dalam teriakan yang terkadang disertai dengan pertaruhan jiwa-raga menghadapi kerasnya hantaman sepatu aparat, atau bahkan todongan laras panjang moncong senjata mereka.

May DayNamun itu tidak menyurutkan langkah kita yang semua kembali turun ke jalan, berbondong-bondong berseru memekikkan nasib tanpa putus asa.

Meskipun sebenarnya kita semua perlahan-lahan mulai paham bahwa, suara kita yang menggema bergelegar telah berkali-kali berakhir sepi dan yang kita rasakan hanya sakit,pilu dan rasa kecewa.

May Day 2Wahai saudaraku, saya, engkau dan kita semua adalah para buruh, sekelompok orang yang memang tidak pernah kenal lelah, tak kenal lelah bekerja meski upah yang diterima jauh dari harapan, tak kenal lelah menyatukan suara dan terus menyatukan suara, meski setelah itu kita tidak bisa menebak arah resonansinya, kita tidak pernah mendengar kemana suara yang kita teriakkan berakhir, bahkan kita tak pernah mampu memastikan apakah ada orang yang menanggapi suara kita.

Saudaraku, bersabarlah! Meski suara yang kita teriakkan hilang tertelan kegaduhan yang terlanjur menyerobot ruang-ruang birokrasi, walau suara kita terabaikan oleh mereka-mereka yang sudah sangat sibuk mengurus diri, menyelamatkan diri, tanpa peduli apa yang kita suarakan.

Saudaraku, para buruh..! suara kalian makin lama makin terdengar parau sambil mengumpat di anak tangga gedung parlemen, suara rintih kesakitan yang kalian alami telah menjadi irama yang sangat terbiasa di telinga mereka.

May Day 3Saudaraku, mari kita kembali berpikir, suara apa lagi yang sejatinya kita pekikkan pada setiap awal Mei. Mari kita evaluasi kembali apakah suara kita masih jernih? Apakah keluhan kita masih murni sebagai wujud perjuangan?

Mari kita satukan rasa dalam kebersamaan untuk kembali bersuara dengan lebih santun, semoga dengan begitu suara  yang kita ungkapkan tidak hanya menghadirkan ketakutan sejenak yang kemudian dengan mudah dibelokkan oleh pemilik kekuasaan.

Mari lebih bijak berkeluh kesah, agar tidak sia-sia suara yang berhamburan dalam gegap gempita ketidakpastian kebijakan, agar suara yang kita pekikkan dengan bersahut-sahutan tidak hanya hilang ditelan angin lalu.(rill)

kode etikBerdasarkan UU RI No. 40 Tahun 1999, dinyatakan  Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Adapun Wartawan, dalam UU RI tersebut disebutkan sebagai orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

FotograferSatu hal yang perlu difahami setiap pewarta bahwa kegiatan jurnalistik tidak hanya sebatas mencari, mengumpulkan lalu menyampaikan informasi dalam bentuk berita. Lebih jauh, wartawan harus memiliki keahlian dan kemampuan mengolah data dan informasi menjadi berita yang baik dan mencerahkan.

Wartawan merupakan figur yang harus mampu berbaur dengan seluruh kalangan dengan memiliki koneksitas yang sangat luas. Mereka harus mampu menempatkan peranannya sebagai mediator yang independen dan netral, tidak berpihak pada sekelompok orang, dan tidak membenci kelompok yang lain. Wartawan harus berdiri tegak di tengah-tengah, tidak membela satu pihak dan memojokkan pihak yang lain.

bukan pembawa petakaWartawan bukan hakim, bukan pembela, bukan penyidik. Sehingga wartawan harus mampu memahami kapasitas dan haknya yang bebas memperoleh data dan informasi, namun juga memiliki banyak batasan.

Pekerjaan sebagai wartawan merupakan pekerjaan yang memiliki keunikan tersendiri. Dibutuhkan seni bagi mereka yang ingin menjadikannya sebagai pekerjaan. Perlu daya kreatifitas tersendiri untuk menjadikan pekerjaan ini sebagai tugas  mulia dan membanggakan.

Tanpa memiliki kemampuan itu semua, mustahil seorang pewarta mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara terhormat. Hanya dengan mengedepankan etika, kehormatan akan muncul dan tercermin dalam setiap pribadi para insan pers. Kredibilitas dan integritas akan bertahan seiring sikap yang mampu berdiri pada asas kode etik jurnalis yang menjadi dasar pelaksanaan tugasnya.

Catatan ini tercetus, dua hari setelah menyaksikan pemberitaan di salah satu stasiun TV swasta nasional. Ketika itu salah seorang reporter TV berinisial AM tengah melakukan wawancara langsung dengan seorang nara sumber berinisial IR, yang diduga pembunuh balita.

terpojokSebuah wawancara TV yang sangat mengerikan, mungkin tidak berlebihan bila kita menganggapnya demikian. Tanpa mempedulikan perasaan dan kepatutan, sang reporter TV terus melontarkan pertanyaan yang memojokkan nara sumbrnya.

“Mengapa anda berbohong setelah membunuh Raisya ? Apa yang anda rasakan ? Apa yang ingin anda sampaikan ?”

Sang reporter mewawancarai IR yang berada dalam keadaan tertekan, menangis tersedu, terisak keras. Terlihat jelas perasaan nara sumber dalam upayanya menghindari kamera dan pertanyaan, namun sang reporter terus mengejar dan mengulang pertanyaan. Sekali, dua kali, tiga kali, IR tertunduk diam. Namun mikrofon terus disodorkan ke arahnya, akhirnya ia buka suara disertai isak tangis, menunjukkan kalau  ia memang tertekan dengan wawancara itu.

Dalam kondisi sedemikian, sang Reporter telah menempatkan diri sebagai penyidik bahkan telah menghakimi tersangka dengan sejumlah pertanyaan  sebelum Hakim pengadilan menjatuhkan palunya.

kartu persBanyak sekali kita temui di lapangan oknum wartawan yang terkesan melebihi kapasitasnya sebagai pewarta, dan bersikap seolah kapasitasnya mencakup segala lini, mulai dari penyidik, penuntut, bahkan sebagai hakim.

Ada baiknya, segenap rekan-rekan wartawan kembali membaca dan mencermati Kode Etik Jurnalistik Indonesia. Di dalamnya termuat larangan untuk wartawan melakukan wawancara dengan cara memaksa atau menjebak. Kode etik itu bahkan membolehkan narasumber berita  mengusir wartawan yang tidak memperlihatkan kartu pers.

Di awal bergulirnya program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke sejumlah sekolah, wartawan tiba-tiba menjadi sosok yang ditakuti sejumlah pihak dan membuat gerah kepala sekolah, utamanya mereka yang menerima dana BOS. Wartawan hadir sebagai penyidik bak Polisi, menetapkan dakwaan bak seorang jaksa bahkan tidak ragu menvonis bersalah, seperti seorang Hakim.

suapMedia cetakpun bermunculan hampir setiap bulan diiringi dengan jumlah wartawan yang juga merajalela di mana-mana. Lahirlah sejumlah istilah dan penamaan wartawan.

Ada Wartawan CNN atau Cuma Nanya-Nanya ujung-ujungnya minta uang.

Ada pula wartawan Papan Bunga, wartawan yang mencari di mana ada papan bunga ucapan peresmian kantor baru atau ucapan selamat, ke sanalah mereka datang.

Wartawan Bodrex, wartawan dengan tagline mirip iklan Bodrex, ‘Pasukan Bodrex Datang’, mereka datang  bergerombol dan membuat pusing si narsum. Ada pula WTS atau Wartawan Tanpa Surat Kabar.

karikatur persTidak sedikit dari mereka mengaku sebagai wartawan lalu mewawancarai narasumber dengan gaya seperti penyidik kejaksaan atau polisi. Padahal Kode Etik Jurnalistik Indonesia dengan tegas melarang hal itu. Kode etik jurnalis membolehkan narasumber untuk melaporkan wartawan yang bertanya dengan cara menekan atau memaksa kepada redaksi si wartawan atau langsung ke Dewan Pers.

Perekrutan tenaga pewarta yang terkesan asal-asalan tanpa mengedepankan unsur kualitas dan SDM calon wartawan oleh sejumlah media juga merupakan hal yang disayangkan. Makin diperparah dengan tidak adanya upaya dari kantor redaksi, untuk memberikan pembekalan mengenai kode etik jurnalisme Indonesia yang bermartabat dan cerdas.  Hal itu terbukti dengan sikap wartawan di lapangan.

tegakkan hukumBanyak oknum wartawan yang menggunakan kapasitasnya untuk mengintimidasi sumber karena menganggap dirinya sebagai super power yang bahkan merasa dapat menentukan nasib setiap sumber, lupa bahwa tugas mereka hanya sebagai penyaji informasi yang berimbang dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah.

Mereka berperilaku seolah dirinya tak terjangkau hukum. Padahal bahasa hukum jelas mengatakan “Barang siapa” yang berarti tidak pandang bulu, siapa saja, semua, tidak disebut “kecuali”.

Hanya kemitraanlah yang menjadikan seorang wartawan menjadi kuat, bukan karena arogansinya. Kekuatan bermitra dengan menjunjung tinggi “Etika Jurnalis” yang akan membentuk kewibawaan seorang wartawan.

Dan sekali lagi wartawan bukan HAKIM.

============

Saya menulis blog ini, sehari menjelang pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, untuk priode 2013-2018.

PilkadaSeperti biasa, setiap tahapan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dimulai, “Pemimpin Harapan” selalu menjadi topik hangat perbincangan, tentu saja bagi mereka yang masih peduli dengan proses demokrasi.

Berbagai harapan pun bermunculan dari masyarakat, dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Ada yang menginginkan pemimpin yang dekat dengan masyarakat, yang lain mengharapkan pemimpin yang memiliki semangat membangun, ada pula yang berpendapat bahwa pemimpin harus jujur, cerdas dan adil. Sementara lainnya menuntut pemimpin yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan, serta masih banyak lagi.

Tim sukses para kandidat, yang lihai segera menyerap berbagai pendapat masyarakat tersebut, dan menjadikannya sebagai jargon politik, dengan tujuan  menarik simpati masyarakat untuk mendulang suara saat pencoblosan.

sulsel 01Dapat dipastikan, hampir tidak ada sesuatu yang baru, dari jargon-jargon politik yang diteriakkan para kandidat dari dahulu hingga sekarang,  janji-janji politik yang diusung para kandidat, selalu itu-itu saja tanpa perubahan berarti, kecuali redaksi dan kalimatnya saja yang berbeda.

“Inilah pemimpin yang akan membawa perubahan ke arah lebih baik,”

“Kami berjanji lanjutkan pembangunan, mengutamakan kesejahteraan rakyat,”

“Pilihlah pemimpin yang telah terbukti bukan yang baru berjanji”

“Kita butuh perubahan dan pembaharuan, yang muda dan semangat”

pilkada karikaturAdalah sedikit dari banyak contoh jargon politik yang selalu berulang dan berulang setiap masa pemilihan kepala daerah tiba.

Akibatnya, sebagian masyarakat menjadi bosan, terlebih tidak sedikit  jargon yang terbukti tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya sebatas jargon tanpa realisasi. Sesuatu yang seringkali menumbuhkan sikap apatis yang berujung lahirnya golput di tengah masyarakat.

Seharusnya para kandidat peka dan mampu melihat bahwa rakyat sebenarnya sudah jenuh dengan janji-janji. Rakyat butuh pemimpin yang tidak banyak bicara namun banyak bekerja. Seharusnya para kandidat dan tim suksesnya faham hal itu. Para kandidat harus mampu mencermati dengan benar keinginan atau harapan masyarakat yang mendambakan pemimpin bukan pemimpi.

surat suaraTentunya kita semua berharap, para kandidat yang bertarung memperebutkan kursi 01 Sulsel dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) kali ini benar-benar menjadi pemimpin yang diharapkan masyarakat, bukan pemimpi yang hanya mampu menyuguhkan mimpi-mimpi indah kepada masyarakat.

Kepada seluruh rakyat Sulawesi Selatan, selamat memilih pemimpin sesuai dengan hati nurani masing-masing. Masa depan Sulsel lima tahun ke depan, ditentukan lima menit waktu dan ketepatan pilihan anda di bilik suara.

Selamat memilih….!!

dengan Repeater, Jangkauan transmisi frekwensi makin kuat dan makin jauh

dengan Repeater, Jangkauan transmisi frekwensi makin kuat dan makin jauh

Tulisan yang berhasil tersusun melalui copy paste dari beberapa artikel ditambah wawancara singkat dengan rekan-rekan Senkom Mitra Polri ini, diposting dengan harapan menjadi panduan bagi rekan-rekan Senkom Mitra Polri atau lembaga mana saja yang bermaksud menambah kekuatan sinyal frekwensi pada alat komunikasi radionya.

Seperti diketahui bahwa jarak pandang serta objek-objek yang berada di antara stasiun, bisa  melemahkan sinyal frekwensi VHF atau Very High Frequency. Sehingga penggunaan repeater diperlukan untuk mengatasi lemahnya frekwensi tersebut.

Secara sederhana, pengertian repeater merupakan alat atau media yang digunakan untuk mengatur keluar masuknya transmisi yang kemudian diproses dengan cara menerima sekaligus mengirimkan kembali transmisi tersebut. Repeater terdiri dari Transmitter dan Receiver, sehingga alat ini memiliki kemampuan untuk menerima transmisi yang masuk sekaligus mengirimkannya.

Berikut ini ditampilkan gambar yang menunjukkan bagaimana sinyal frekwensi VHF dari kedua stasiun yang diantarai oleh sebuah objek.

Sinyal Frekwensi akan melemah bila terhalang objek

Sinyal Frekwensi akan melemah bila terhalang objek

Gambar disamping ini, menunjukkan ketika dua stasiun saling melakukan transmisi, tetapi tidak dapat saling menjangkau karena terhalang oleh objek. Transmisi dari kedua stasiun bisa saling terhubung dengan cara meletakkan  sebuah repeater di puncak objek yang menjadi penghalang.

Masing-masing stasiun akan mengirimkan transmisi melewati repeater untuk selanjutnya dikirimkan kembali ke stasiun tujuan yang masih berada dalam jangkauan (range) repeater.

Repeater harus diletakkan di daerah ketinggian, seperti menara ataupun perbukitan. Agar repeater bisa berfungsi dengan baik terutama untuk menambah range atau jangkauan, maka ketinggian antenna-nya disarankan lebih dari 25 meter dari permukaan tanah.

repeater menerima dan mengirimkan kembali sinyal ke setiap stasiun

repeater menerima dan mengirimkan kembali sinyal ke setiap stasiun

Pada gambar kedua, terlihat kedua stasiun   sudah dapat saling terhubung dengan menggunakan repeater. Repeater bahkan mampu menghubungkan semua stasiun yang berada dalam jangkauan repeater, dengan catatan; berada pada frekwensi yang sama.

Secara teori, dapat diijelaskan bahwa jika tidak menggunakan repeater, jangkauan transmisi frekwensi VHF hanya sekitar 2 km – 20 km, tetapi dengan menggunakan repeater bisa mencapai sekitar 40 km – 100 km. Dengan menggunakan beberapa repeater secara bersamaan, jangkauan sinyal transmisi bahkan bisa lebih jauh dan mampu menjangkau lebih banyak stasiun dengan catatan berada pada frekwensi yang sama.

Itulah sedikit gambaran mengenai repeater dan fungsinya. Mengenai cara pemasangannya, akan diuraikan pada tulisan berikutnya.

“Untuk sementara demikian taruna yang dapat di87kan, diucapkan 811…813…Terima kasih…!”

——————-

Ambon – Sore itu Senin, hari kelima di bulan September 2011, bulan kesembilan saya berada di kota Ambon, dalam rangka tugas jurnalis untuk sebuah tabloid mingguan edisi Maluku. Di Ambon, saya menginap di rumah seorang kawan di lorong Mayang-Jl.Diponegoro, setelah memutuskan meninggalkan mess yang sekaligus berfungsi sebagai kantor redaksi “Utusan Rakyat” media yang mengutus saya datang ke Ambon, pada awal Januari 2011.

Diary kecilku

Diary kecilku

Rekan wartawan yang pernah sama-sama bekerja di SKU Utusan Rakyat, Niko Kastanja mengajak saya tinggal dengannya. Kebetulan di rumahnya, Niko   hanya tinggal berdua dengan Mamanya yang sudah tua.

“Anas tinggal di beta pung rumah saa’. Beta pung mama sering sandirian tuu kalau beta ada pergi,”kata Niko.

Melihat kondisi dari tabloid yang tidak menentu, kadang terbit-kadang tidak terbit, begitupula gaji yang diberikan tidak sesuai dengan kesepakatan, maka saya memutuskan resign dari mingguan itu.

Untuk menyambung hidup selama berada di kota Ambon, saya  bekerja di sebuah toko olah raga milik warga keturunan China.  Enam bulan lamanya saya bekerja di Toko ‘Anugerah’ di jalan A.M.Sangadji itu, sekaligus mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Makassar.

Pemilik toko dan pegawai toko semuanya beragama Kristen, namun mereka cukup toleran, saya biasa melaksanakan sholat di gudang bagian belakang toko. Sholat Magrib adalah penutup aktivitas sebelum saya meninggalkan toko itu.

setelah resign dari media, kerja di toko untuk bekal pulang ke Makassar

setelah resign dari media, kerja di toko untuk bekal pulang ke Makassar

Seperti Senin sore itu, setelah menunaikan sholat Magrib, saya segera mengemasi barang-barang dan pulang ke rumah Niko di lorong Mayang. Sebuah kawasan yang berada di tengah pemukiman Kristen dan diapit tiga gereja besar, gereja Silo di sebelah barat, gereja ini cukup terkenal di kota Ambon. Di sebelah selatan terdapat gereja Hok Im Tong, gereja yang dibangun oleh warga keturunan China, dan gereja Katederal di sebelah Timur.

Suasana lorong Mayang minim penerangan, hanya penerangan dari teras rumah warga yang menyumbangkan sedikit cahaya di lorong sempit menuju rumah Niko berada.

Sebuah bengkel pencucian kendaraan, tepat berhadapan dengan rumah Niko. Bengkel yang buka siang hari itu  digunakan sebagai tempat nongkrong oleh sejumlah pemuda di malam hari.

Malam itu, suasana bengkel terlihat sepi, seseorang terlihat samar-samar berdiri di depan bengkel, mungkin sedang menunggu teman-temannya datang berkumpul.

“Permisi,Bang,” kata saya menyapa.

Orang itu hanya diam melihat saya melintas, dan baru menegur ketika saya berusaha membuka pintu rumah, sebuah teguran yang terdengar cukup keras dan kurang bersahabat.

“Hee, ose panjat orang pung pagar, see mau mancuri kapa’ eee?”katanya

“Seng, Bang! Beta tinggal di rumah ini, beta Niko pung tamang,” jawab saya.

Orang itu mendekat, saya dapat melihat sosok yang besar dan tinggi, sepadan dengan  suaranya yang makin meninggi,

Gereja SILO, kota Ambon - Suasana magrib

Gereja SILO, kota Ambon – Suasana magrib

”ose bohong, beta lihat ose panjat orang pung pagar, se tau kaseng, ini katong pung linkungan,” teriaknya.

Dari mulutnya tercium bau alkohol.  Saya fikir akan percuma meladeni orang yang sedang kehilangan akal sehat ini, posisi saya yang berada di tengah-tengah kawasan mereka juga sangat tidak menguntungkan.

Saya hanya bisa diam ditempat, satu-satunya harapan saya adalah, Niko mendengar suara ribut-ribut itu dan segera keluar.

“See, pasti bukan orang Ambon, se dar mana eee…?” kembali orang itu bertanya dengan suara keras, beberapa orang warga keluar dari rumah, begitu pula sejumlah pemuda sudah mulai berdatangan dan segera berkerumun di sekeliling saya.

Nongkrong di jalan, kumpul dan minum sebagai pengisi waktu

Nongkrong di jalan, kumpul dan minum sebagai pengisi waktu malam bagi sebagian pemuda dan warga Ambon

“Saya temannya Niko dari Makassar, Bang !” jawab saya.

“Aeeee cuk*ma*….kanapa orang Makassar paling banyak datang ka Ambon eee…apa orang Makassar saa yang paling pandai eee…..? apa se kira katong samua orang  paling bodoh kapa’ eee….?”

Lorong sempit dan gelap itu seketika menjadi ramai. Saya tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali diam di tempat dan berdoa.

“Ya Alloh, saya mohon selamatkan saya dari tempat ini. Kalau memang ajal saya tiba, hamba mohon jangan di tempat seperti ini, Ya Alloh,” bathin saya pasrah.

Niko, beta pung kawan di Ambon

Niko, beta pung kawan di Ambon

Tiba-tiba pintu rumah Niko terbuka, Mama Niko keluar. Wanita tua dan sedikit tuli itu heran melihat banyak orang berkumpul di depan rumahnya. Rupanya dia kebetulan saja keluar untuk mencari Niko. Wanita itu segera mengenali saya yang berdiri dekat pintu masuk.

“Eh, Daeng supulang ee, kanapa seng masuk rumah? Niko ada peggi belum pulang laii. Beta mau cari doo, Daeng masuk saa,” katanya.

Tapi teguran Mama Niko itu ternyata tidak membantu meredam emosi para pemuda dan warga. Meskipun Mama Niko jelas mengajak saya masuk rumah, orang-orang itu tetap menahan saya, sementara yang lain mendorong Mama Niko masuk ke dalam rumah kembali.

“Mama masuk saa…masuk Mama…jang kaluar laii…!!!” perintah mereka.

Mama Niko pun akhirnya masuk, sementara saya kembali dalam posisi terkurung di tengah warga.  Saya berdiri pasrah,  saya berserah diri sambil berdoa, “Ya Alloh, kedatangan saya ke Ambon ini adalah untuk bekerja, untuk menafkahi keluarga, saya niati sebagai ibadah, sebagai bentuk kewajiban saya sebagai kepala keluarga. Ya Alloh, saya yakin Engkau tidak mungkin membiarkan saya mati konyol di tempat ini,”

Tiba-tiba melintas seorang pengendara sepeda motor dan berhenti di kerumunan warga. Samar-samar saya melihat orang itu adalah security di salah satu Bank yang berada tidak jauh dari tempat itu. Kebetulan saya adalah nasabah Bank tempatnya bekerja, dan Alhamdulillah, rupanya dia mengenali saya.

Konflik Sosial, Pengeroyokan selalu menjadi pemicunya -- Foto,diambil dari lantai 2 toko tempat saya bekerja

Konflik Sosial, Pengeroyokan selalu menjadi pemicunya — Foto,diambil dari lantai 2 toko Anugerah, Jl.AM.Sangadji-Ambon

Security yang selalu menyapa dan membukakan pintu ketika saya datang ke Bank untuk menyetor uang atau ketika akan mentransfer uang ke Umi dan anak-anakku yang ada di Palopo, Sulawesi selatan.

“Eh…Abang Khairil, ada apa ini?” katanya setelah turun dari sepeda motornya dan menyeruak di antara kerumunan.

“Ini, Bang! Abang-abang ini salah faham, disangkanya saya ingin membobol rumah Bang Niko. Saya sudah jelaskan bahwa saya temannya Bang Niko dan tinggal di sini, tapi rupanya Abang-abang ini tidak mau mengerti.” Jawab saya.

Bapak Security tadi lalu berbalik kepada orang mabuk tadi, saya dapat mendengar kata-katanya. “Eh, sudahlah, ale-ale bubar sa’ samua, Abang ini Niko pung tamang, beta kanal ini Abang, beta pung tamang juga.”

Setelah berkata begitu, Bapak security tadi segera menarik tangan saya naik motor bersamanya. Beberapa orang berusaha mencegah, tapi security itu  segera melarikan sepeda motornya meninggalkan kerumunan warga, keluar dari lorong kecil itu menuju jalan raya menjauh dari kawasan tersebut.

“Abang sekarang suh selamat, lain kali hati-hati, Bang,” katanya setelah saya turun dari motornya.

Berkali-kali saya mengucapkan terima kasih kepada Security Bank, yang saya lupa namanya itu, ”Terima kasih banyak, Bang! Saya tidak tahu apa yang akan menimpa saya, andaikata Abang tidak menolong saya tadi,” kata saya.

“Sudahlah,Bang! Lupakan saa’. Betapun seng tau, mengapa tiba-tiba lewat situ tadi, beta seng pernah lewat situ sebab gelap, tapi rupanya Tuhan sengaja suruh beta lewat untuk salamatkan Abang.”katanya. “Sekarang Abang mau kemana?”lanjutnya.

“Insya Alloh, malam ini saya nginap di rumah kawan di Tantui, Bang!” jawabku.

Tugu Gong Perdamaian Dunia di jantung kota Ambon

Tugu Gong Perdamaian Dunia di jantung kota Ambon,Maluku.

Malam itu saya menginap di Markas Komando Senkom Maluku di Tantui. Semalaman saya tidak bisa tidur, ngeri membayangkan peristiwa yang baru  saya alami.

Saya memanfaatkan malam itu untuk sholat malam, memanjatkan doa dan pujian syukur kapada Alloh. Besoknya, pagi-pagi sekali sebelum ke toko tempat saya bekerja, saya menyempatkan singgah ke rumah Niko memeriksa barang-barang dan pakaian, Alhamdulillah semua masih utuh.

Sebuah pengalaman yang sulit untuk saya lupakan. Beberapa hari setelah kejadian itu, tepatnya Sabtu malam, 10 September 2011, seorang tukang ojek muslim ditemukan tewas di sebuah kawasan Kristen di Gunung Nona. Tersebar kabar, tukang ojek itu dikeroyok dan dibunuh sejumlah pemuda mabuk ketika pulang dari mengantar penumpangnya. Mayatnya ditemukan petugas kebersihan kota di sebuah container sampah, pada Minggu pagi esok harinya.

Peristiwa itulah yang memicu meletusnya konflik SARA pada Minggu,11 September 2011. Ambon kembali berdarah.

———————–

Shubuh dini hari Rabu, 5 Oktober 2011 adalah sholat shubuh saya yang terakhir di kota Ambon, bersama rekan-rekan di Markas Komando-Senkom Ambon, Maluku. Malam Senin sebelumnya, saya telah menyampaikan permohonan izin kepada Pembina Senkom Maluku, Kompol Handi Herdigdo untuk kembali ke Makassar. Selembar tiket Garuda telah terbeli untuk penerbangan kembali ke Makassar, setelah 10 bulan lamanya berkelana di kota Manise dan sebagian wilayah Maluku.

Lapangan Merdeka,Ambon-Februari 2011

Lapangan Merdeka,Ambon-Februari 2011

Catatan mengenai hari-hari di kota Ambon yang awalnya merupakan coretan dalam sebuah buku harian ini, akhirnya bisa terdokumentasikan di Blogg sederhana ini. Blogg yang diharapkan bisa menjadi cermin masa lalu bagi diri pribadi, dan sebagai dokumentasi hidup yang dapat dibaca oleh anak atau cucu kelak yang ingin mengetahui bagaimana perjalanan hidup ayah atau kakeknya.

Saya menganggap kisah perjalanan selama 10 bulan di kota Ambon merupakan titik nadir dalam perjalanan hidup saya. Ambon, adalah kota yang benar-benar baru dan asing ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri itu, ditambah lagi tidak ada sanak-family seorangpun di sana.

di Mako Senkom Maluku-Menunggu waktu sholat Isya

di Mako Senkom Maluku-Menunggu waktu sholat Isya

Untung saja, wilayah Kota Ambon yang tidak begitu luas memudahkan saya segera menemukan alamat sekertariat/mako Senkom dan bertemu dengan rekan-rekan Senkom Maluku.

Karena tujuan kedatangan di kota Ambon untuk tugas peliputan, maka tidak setiap saat saya merapat di Mako Senkom Maluku. Saya lebih banyak memanfaatkan waktu di luar, memburu berita. Bahkan terkadang, tidak mempedulikan kesehatan dan keselamatan diri.

Mesjid Raya Al Fatah Kota Ambon

Mesjid Raya Al Fatah Kota Ambon

Berkali-kali saya tidur di emperan toko bersama gelandangan dan orang gila, atau tidur di dalam mesjid raya Al-Fatah, makan bersama pengungsi korban kerusuhan. Pernah hampir dikeroyok pemuda mabuk di lorong Mayang-Jl.Diponegoro.  Sebuah kawasan yang letaknya tepat berada di tengah kompleks jemaat gereja Silo-Ambon.

Hanya karena pertolongan Alloh, saya dapat terlepas dari kerumunan warga Kristen kala itu. Kisahnya ada dalam coretan diary yang saya beri judul ‘Nyaris Jadi Tumbal Kerusuhan’. Mengenai bagaimana tangan Alloh membebaskan saya dari kerumunan massa, juga ada dalam tulisan itu, yang akan saya muat semua di blog yang sederhana ini.

di Taman Pattimura-Ambon

di Taman Pattimura-Ambon

Di kota Ambon, berkali-kali saya merasakan keagungan pertolongan Alloh. Sejak meninggalkan mess yang sekaligus berfungsi sebagai kantor redaksi “Utusan Rakyat” (media yang mengutus saya datang ke Ambon),  saya kemudian mengontrak sebuah kamar kecil berdinding tripleks di sebuah rumah kumuh, di tepi sungai samping mesjid Al-Fatah. Dua bulan indekost, seorang kawan beragama Kristen, Niko namanya, mengajak saya untuk tinggal di rumahnya. Empat bulan lamanya saya menginap di rumah kawan yang berada di tengah-tengah kawasan Kristen di sebuah lorong kecil di Jl.Diponegoro, kota Ambon.

Bahkan Sabtu malam, sebelum meletusnya konflik SARA, Minggu 11 September 2011, saya masih menginap di rumah kawan itu. Pagi-pagi sekali setelah sholat shubuh, saya meninggalkan rumah itu menuju Sekretariat SENKOM Maluku di daerah Tantui, 3 km sebelah utara kota Ambon.

Ambon, 11 September 2011

Ambon, 11 September 2011

Baru beberapa menit tiba di sekretariat, seorang rekan SENKOM datang dan mengabarkan bahwa warga Muslim dan Kristen bentrok dan saling bertikai di pusat kota. Seketika itu, saya gemetar, membayangkan, apa yang akan terjadi seandainya saya tidak meninggalkan rumah tempat saya menginap tadi, tentu saya akan  terkepung di tengah-tengah kawasan Kristen, seperti nasib yang menimpa beberapa warga Muslim ketika itu.

Alhamdulillah…!!! Tidak henti-hentinya saya mengucap Syukur, Alloh kembali menolong saya untuk ke sekian kalinya, Alloh menggerakkan saya, Alloh menyelamatkan saya dari bahaya. Sebagai wujud kesyukuran, saya mengajak rekan-rekan Senkom kota Ambon untuk segera meng-aktifkan radio komunikasi. Dalam situasi yang genting itu, saya mengajari rekan-rekan Senkom berkomunikasi dengan menggunakan sandi-sandi radio. Selanjutnya menyebar bersama rekan-rekan untuk mengevakuasi warga Muslim yang terjebak dalam konflik sosial ketika itu.

Konflik sosial yang terjadi pada Minggu, 11 September 2011 di kota Ambon ketika itu dipicu oleh meninggalkan seorang tukang ojek (muslim) di Gunung Nona (wilayah kristen). Berhembus isu bahwa tukang ojek itu dikeroyok dan dibunuh oleh pemuda kristen.  Kejadiannya hanya berselang satu minggu setelah saya terlepas dari ancaman pengeroyokan pemuda kristen yang mabuk di lorong Mayang-Jalan Diponegoro. Subhanalloh….!!!

Catatan : Ketika tulisan ini saya upload ke blog, seorang kawan tiba-tiba menelphon mengabarkan terjadinya kembali bentrok dua kelompok warga di Ambon, Sabtu 6 Oktober dinihari tadi, sekitar pukul 02.40 waktu setempat.

“Bentrok ini terjadi di kawasan Ongkoliong, Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Ambon. Masih lanjutan dari bentrokan dua kelompok warga yang terjadi pada Rabu, 3 Oktober lalu. Sejumlah kios dibakar massa di jembatan Batu Merah,” kata sang kawan.

“Oh, Ambon Manise…semoga wargamu tetap manise…??”

————-

 

Kenapa juga harus ada erang-erang
Kenapa juga panaik harus banyak uang
Jadi kesannya Bapak kayak jual orang
kenapa tidak becce, pajang saja di warung

Itu penggalan lagu milik Art 2 tonic, kelompok band asli Makassar, berkisah tentang si-Baco yang mempertanyakan ‘mengapa calon mempelai lelaki diharuskan menyiapkan ‘erang-erang’ dan uang ‘panaik’ yang tingginya selangit dalam prosesi pernikahan Bugis-Makassar?’

Sama persis dengan pertanyaan dalam benak saya, ketika mempersunting gadis Bugis yang sekarang sudah menjadi isteri…he he he…keluarganya meminta beberapa ragam erang-erang dan uang panaik, yang waktu itu terasa sangat berat. Bahkan saya tidak tahu, apa yang dimaksud erang-erang itu dan bagaimana bentuknya.

“Mengapa harus ada erang-erang, Agama tidak mensyaratkan itu,” bathin saya.

Beruntunglah saya ketika itu, calon isteri membantu menyiapkan erang-erangnya. Bersama-sama kawan-kawannya dia membeli erang-erang sesuai yang dia inginkan, lalu beberapa temannya diutus untuk mengantar erang-erang itu ke rumah keluarga saya.

diapit pembawa erang-erang di hari bahagia

Saya dan Isteri diapit pembawa erang-erang di hari bahagia

Dan keluarga saya hanya kebagian tugas mengemas erang-erang  itu dalam kotak untuk dibawa oleh gadis-gadis pengiring menuju ke tempat mempelai wanita.

Saya sendiri tidak tahu apa isi dari erang-erang saya kala itu. Yang saya tahu jumlahnya ada 12 macam, karena ada 12 gadis-gadis berbaju bodo yang bertugas membawa erang-erang itu bersama bosara berisikan kue-kue.

Saya baru tahu apa isi erang-erang itu setelah jadi suami-isteri…he he he…kami mengenang hal itu sebagai awal dari sebuah kerjasama yang kompak, yang akan dipertahankan selamanya.

Mau mi diapa adat tidak boleh ditentang
Mau mi diapa adat tidak boleh ditantang
Sudah begini aturan dari nenek moyang
Kalau kau protes, protesko sama nenek moyang.

Demikian lanjut Art 2 Tonic dalam lagunya.

Memang boleh jadi persoalan erang-erang dan uang panaik itu banyak menghantui para lelaki yang sebenarnya sudah memasuki usia nikah, bahkan mungkin sudah memiliki calon isteri, namun terganjal pada persoalan erang-erang dan uang panaik.

Erang-erang sebagai hadiah

Erang-erang sebagai hadiah

“Eh, erang-erang itu opo to, Mas…? kata calonku, aku musti siapkan erang-erang. Memangnya wajib ya,Mas..?” tanya Mas Joko, kawan asal pulau Jawa yang pada tulisan lalu saya kisahkan berniat menikah dengan gadis Bugis.

“Sebenarnya sampeyan tidak perlu heran,Mas..” kataku

Dalam prosesi pernikahan Jawa pun dikenal erang-erang, dimana calon pengantin pria menyiapkan dan membawa sejumlah perlengkapan untuk calon pengantin wanita.  Hanya namanya saja yang berbeda, di Sulawesi selatan ini disebut erang-erang, sementara di Jawa dinamakan seserahan. Saya kebetulan tahu, karena pernah menikah dengan gadis Jawa.

Adapun ragam dan jumlah seserahan atau erang-erang itu tergantung dari permintaan keluarga mempelai wanita. Namun umumnya erang-erang itu terdiri dari;

  1. Kain kebaya dan kain sarung. Kebaya saya ganti dengan mukena dan kain sarung (satu-satunya isi erang-erang yang saya tahu, karena dibelikan oleh mama)
  2. Pakaian dalam berupa bra dan CD
  3. Baju+Rok+celana
  4. Sepasang sepatu dan tas pesta
  5. satu set perlengkapan make-up
  6. Handuk besar dan handuk kecil
  7. Parfum
  8. Sabun dan alat-alat mandi
  9. Kain batik
  10. Sisir dan cermin
  11. Jilbab
  12. Al Qur’an dan sajadah

Makna dari erang-erang itu adalah sebagai hadiah yang dipersembahkan oleh pengantin pria untuk pengantin wanita.

Adapun tata cara penyerahannya, rombongan gadis pembawa erang-erang yang terdiri dari 12 orang gadis remaja berbaris rapi dikawal oleh keluarga pengantin pria menuju ke tempat pengantin wanita.

Adapun jumlah pembawa erang-erang menunjukkan derajat keturunan atau status sosial sang mempelai.  Semakin banyak jumlahnya, menandakan semakin tinggi derajat sosial sang mempelai.

Saat tiba di gerbang halaman, Pengantin Pria disiram dengan Bente atau Benno (beras yang telah disangrai) oleh salah seorang sesepuh dari keluarga Pengantin Wanita. Dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan erang-erang.

erang-erang di Bugis, seserahan di Jawa

erang-erang di Bugis, seserahan di Jawa

Setelah itu Pengantin Pria beserta rombongan memasuki kediaman Pengantin Wanita untuk dinikahkan. Petugas KUA Kemudian melakukan pemeriksaan berkas dan permohonan ijin Calon Pengantin Wanita kepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang dilanjutkan dengan prosesi Ijab dan Qobul.

Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan dengan mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Lalu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, dan terakhir kedua pengantin lalu naik dan duduk di pelaminan.

—————–

Judul tulisan ini merupakan pertanyaan dari seorang kawan yang datang dari Jawa dan ingin tahu mengenai prosesi pernikahan adat Bugis.

Pengantin Bugis

Pengantin Bugis

”ssstt…aku lagi sedang PDKT nih dengan cewek Bugis, makanya aku pingin tahu gimana sih prosesi pernikahan Bugis itu”akunya.

Ada beberapa tahapan yang musti dilalui dalam upacara pernikahan masyarakat Bugis.  Upacara pernikahan dalam adat Bugis dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan mengandung nilai-nilai kesucian, maka dari itu pernikahan wajib terlaksana di atas dua landasan utama, kata saya memulai penjelasan.

“Dua hal yang melandasi pernikahan masyarakat Bugis, yakni niat yang lurus dan jiwa yang suci bersih. Itu tergambar dalam prosesi Mappacci,”kataku.

“Mappacci…? Apa itu, Daeng…?” tanyanya.

Mappacci adalah salah satu rangkaian dari upacara pernikahan Bugis yang bermakna ‘pensucian diri’.  Sebuah pantun Bugis (elong ugi) menyatakan : Duami kuala sappo unganna panasae na belo-belona kanukue. Yang artinya ‘Ada dua yang kuambil sebagai pagar diri dalam rumah tangga, yaitu kembangnya buah nangka dan perhiasannya kuku jari.

Sejenak kulihat dahi si kawan berkerut dan karena saya diam ia kemudian bertanya, ”Apa kelebihan dari kembang buah nangka serta hiasannya kuku, sampai-sampai keduanya bisa dijadikan sebagai pagar diri? Jangan-jangan itu mengandung takhayul, iya…?”

“Ha ha ha, sudah saya duga sampeyan akan bertanya begitu, Mas!” kataku.

Ungkapan dalam Elong ugi itu sama sekali tidak mengandung takhayul atau syirik. Ungkapan itu mengandung arti yang sangat penting dan menjadi dasar dalam menjalankan suatu perkawinan.

Unganna panasae’ atau kembang buah nangka dalam bahasa Bugis disebut ’lempu’, bermakna lurus merupakan simbol niat yang lurus.

Sedangkan ’belo-belona kanukue’ atau hiasannya kuku disebut ’pacci’ yang artinya bersih, melambangkan kesucian atau jiwa yang jernih.

meletakkan pacci di telapak tangan calon mempelai

meletakkan pacci di telapak tangan calon mempelai

”Itulah mengapa upacara ’Mappacci’ atau mensucikan diri menjadi sesuatu yang harus dijalani dalam mengawali prosesi pernikahan Bugis,Mas.”kataku.

”Kapan tepatnya acara ’mappacci’ itu dilaksanakan?” tanyanya.

“Acara ‘mappacci’ itu dilaksanakan pada malam menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya, itu sebabnya biasa disebut malam mappacci, biasa juga disebut ‘tudang penni’. Mungkin kalo di Jawa semacam midodareni, atau dalam adat Melayu hampir sama dengan acara malam berinai. Acara melepas lajang gitu deh,Mas…he he he …tetapi memiliki makna filosopi”

Si kawan terlihat mulai manggut-manggut, nampaknya dia serius ingin mengetahui lebih jauh tentang adat pernikahan Bugis. ”Lalu apa saja yang perlu dipersiapkan dalam acara mappacci itu dan bagaimana pelaksanaannya ?” tanyanya kemudian.

Inti dari upacara ini adalah pemberian daun pacci atau daun pacar pada calon mempelai, maka daun pacar atau pacci menjadi sesuatu yang harus ada dalam acara itu. Tata cara pelaksanaannya yaitu para kerabat atau beberapa tamu yang telah dipilih, satu per satu mengambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan lalu diletakkan di telapak tangan calon mempelai.

Daun pacci itu dikaitkan dengan kata ‘paccing‘ yang maknanya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappaci mengandung makna kebersihan raga dan kesucian jiwa.

calon mempelai laki-laki juga melakukan acara mappacci

calon mempelai laki-laki juga melakukan acara mappacci

Tamu yang diminta untuk meletakkan pacci biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan mempunyai kehidupan rumah tangga yang bahagia.  Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.

“Oiya,apakah hanya calon mempelai wanita saja yang melakukan acara pakci’ itu?” Tanya si kawan.

“He he he, bukan pakci’ mas! Tapi ‘mappacci’. Acara itu dilakukan baik bagi calon mempelai perempuan maupun calon mempelai laki-laki, hanya saja tempat pelaksanaannya terpisah, di rumah masing-masing. Sedikitnya ada 6 macam perlengkapan yang harus disiapkan dalam  pelaksanaan mappacci, itu merujuk dari pengalaman saya ketika menikah dulu. he he he…” kataku.

“Iyakah, apa saja itu?”

Upacara mappacci menggunakan 6 (enam) macam alat perlengkapan yang terdiri dari; bantal, sarung 4 lembar, daun pisang, daun nangka, daun pacci, dan suluh atau lilin. Keenam alat perlengkapan tersebut masing-masing mengandung makna filosofi, yakni:

perlengkapan mappacci

perlengkapan mappacci

Bantal adalah simbol sipakatau  atau saling menghargai, itu tergambar dari fungsinya sebagai pengalas kepala saat tidur. Kepala merupakan bagian tubuh yang paling mulia dan dihargai. Begitu pula, sosok manusia baru dapat dikenal bilamana dilihat wajahnya, dan wajah adalah bagian dari kepala.

Sarung merupakan simbol mabbulo sipeppa atau persatuan, itu tergambar jalinan dan kumpulan lembaran benang yang disatukan kemudian diolah dan ditenun.

sarung sebagai simbol persatuan dan penutup aurat

sarung sebagai simbol persatuan dan penutup aurat

Fungsi utama sarung sebagai penutup aurat, demikian pula halnya suami-isteri. Istri adalah pakaian dari suami, dan suami merupakan pakaian bagi istri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an: “hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna” (QS. 2:187),Artinya “mereka itu istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu pun selaku suami adalah pakaian dari mereka”.

Penggunaan empat lembar sarung yang disusun dalam suatu lingkaran mengandung makna kesiapan calon mempelai memasuki kehidupan berumah tangga dengan terlebih dahulu membersihkan 4 hal, yaitu mapaccing ati artinya bersih hati, mapaccing nawa-nawa artinya bersih fikiran, mapaccing pangkaukeng artinya bersih/baik tingkah laku, dan mapaccing ateka artinya bersih I’tikat.

Daun pisang. Pisang adalah simbol serbaguna karena seluruh bagian dari pohon pisang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Pisang merupakan tanaman produktif karena sekali kita menanam pisang, akan tumbuh dan berkembang, patah tumbuh hilang berganti. Sama halnya dengan manusia hidup dan berkembang dari generasi ke generasi melalui perkawinan.

Panasa sebagai simbol cita-cita atau mamminasa

Panasa sebagai simbol cita-cita atau mamminasa

Daun nangka. Nangka adalah simbol cita-cita, dalam bahasa Bugis disebut ‘panasa’ yang mengandung makna mamminasa, yang memiliki arti tekad dan cita-cita. Setiap pasangan suami istri ingin menjadikan rumah tangganya senantiasa dalam keadaan tenteram dan bahagia didampingi oleh istri dan anak-anak yang saleh dan sakinah sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW: “baiti jannati” yang artinya rumahku adalah surgaku.

Daun pacci/pacar adalah simbol kebersihan atau kesucian karena daun pacci itu digunakan sebagai pemerah kuku atau penghias kuku, belo-belo kanuku. Sebagaimana yang tercantum dalam pantun Bugis tadi yang berbunyi “DUA MI UWALA SAPPO, BELO NA KANUKUE, UNGANNA PANASAE”. Terjemahan bebasnya : hanya dua kujadikan perisaiku yaitu pacci (kesucian) dan lempu’(kejujuran). Peribahasa ini berlaku bukan hanya dalam hal pernikahan, tetapi hadir dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat Bugis.

Lilin adalah simbol penerangan dan pengabdian; digunakan sewaktu gelap sebagai penerang dan sebagai simbol pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, agama, bangsa, dan negara.

Simbol-simbol yang disebutkan di atas diharapkan dalam melayarkan bahtera hidup dan kehidupan calon pengantin selalu didasari oleh 3E yaitu: Etos, Etis, dan Estetika dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Insyaa Allah.

pernikahan adik ipar di Palopo

pernikahan adik di Palopo; tradisi yang turun-temurun

Meskipun perkembangan zaman makin canggih dengan sentuhan tekhnologi yang serba modern, namun kebiasaan-kebiasaan yang merupakan tradisi turun-temurun bahkan telah menjadi Adat dalam pesta pernikahan Bugis nampaknya sukar untuk dihilangkan. Kebiasan-kebiasaan tersebut masih dilakukan meskipun dalam pelaksanaannya kadang mengalami perubahan, namun nilai-nilai dan makna masih tetap terpelihara dalam setiap upacara adat di tanah Bugis.

***************

Setiap makhluk termasuk manusia, pada umumnya hanya memiliki dua macam jenis kelamin, lelaki dan perempuan.  Pembagian jenis kelamin ini dikenal di seluruh dunia yang kemudian dibarengi dengan tuntutan peran sosial yang kemudian disebut gender.

Namun, dalam hal tradisi dan adat-istiadat, tidak semua budaya memiliki pandangan yang sama dalam hal pembagian gender yang hanya dua itu. Ada Beberapa masyarakat yang membagi gender dalam tiga, lima bahkan lebih.

Bahkan masyarakat  Muangthai mengenal sekitar 10 gender, yang juga dibarengi dengan tuntutan kefemininan dan kemaskulinan dari masing-masing gender yang berbeda-beda.

Saya belum ingin menulis mengenai sepuluh gender di Muangthai, mungkin suatu saat nanti. Saya ingin menulis mengenai lima gender yang dikenal dalam adat budaya masyarakat Bugis, suku saya sendiri. Berikut kelima gender dalam budaya Bugis :

Pria Feminim

Pria Feminim

  1. Orowane, artinya pria atau lelaki, biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan.
  2. Makkunrai, artinya wanita atau perempuan. Mereka kerapkali dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan bersedia menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami.
  3. Calalai atau Waria, sebagai gender ketiga yang diakui dalam kebudayaan Bugis. Calalai ini merupakan perempuan yang berkelakuan, berpenampilan, dan berkehidupan seperti laki – laki. Saking miripnya dengan lelaki, kita akan  terkecoh dan tidak tahu kalau seseorang itu Calalai sampai dia sendiri yang memberitahukannya. Seringkali golongan ini direndahkan dan disisihkan. Mereka banyak bekerja di dunia hiburan atau salon kecantikan. Dalam bidang lain semisal politik dan pendidikan, mereka belum mendapat tempat. Calalai biasa juga disebut perempuan maskulin. Anak gaul di Makassar biasa menyebutnya ‘Balaki’.
  4. Calabai atau lelaki feminim, mereka adalah laki-laki yang berpenampilan dan hidup sebagai perempuan.Biasanya mereka lebih senang berpasangan dengan laki-laki.
  5. Bissu, sebagai gender kelima berbeda dengan 4 gender yang lain. Mereka adalah golongan yang disebut ‘bukan lelaki bukan pula perempuan’. Dalam budaya Bugis mereka memiliki posisi yang sangat penting. Pada setiap upacara adat Bugis, mereka bertindak sebagai ‘pendeta’ atau ‘pemangku adat’. Kelompok ini termasuk langka, namun mudah ditandai dengan pakaian khusus yang mereka pakai dalam keseharian. Merekalah yang bertugas menjaga dan melestarikan nilai – nilai budaya dan adat Bugis yang asli agar tidak punah.Bissu, juga merupakan kombinasi dari sifat keempat gender yang ada. Dalam kelompok Bissu ini, ada yang merupakan laki-laki berperilaku wanita, ada juga wanita yang berperilaku laki-laki. Sulit membedakan mana lelaki yang kewanita-wanitaan, mana yang wanita kelaki-lakian diantara mereka.
Bissu

Bissu, bukan pria,bukan waria,bukan wanita. 

Secara historis, konon keberadaan Bissu dalam sejarah masyarakat Bugis bersamaan dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Bermula ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis turun ke bumi dari dunia atas (botinglangi’) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (bori’liung), seperti tertulis dalam sure’ I La Galigo. Bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.

Puang Matoa Bissu Saidi dan Puang Lolo Bissu Puang Upe.

Puang Matoa Bissu Saidi dan Puang Lolo Bissu Puang Upe semasa hidupnya

Oleh masyarakat adat Bugis, Bissu ini dipercaya sebagai perantara dalam berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit. Keberadaan bissu dalam masyarakat Bugis saat ini, makin terancam punah, karena dalam masa lima tahun  belum tentu ada penambahan satu Bissu. Calon Bissu yang tergolong cerdas baru dapat ditahbiskan dan dilantik menjadi Bissu paling cepat dalam masa 4 sampai 5 tahun.Wallohu a’lam.

*) Tulisan yang disusun dengan mengacu dari berbagai sumber ini dibuat sesaat setelah menerima kabar meninggalnya Puang Upe atau Puang Lolo Bissu di Segeri-Pangkep, Sulawesi selatan.

*************

Januari 2012, awal mula diketahui mengalami autis

Januari 2012, awal mula diketahui menyandang autisme

Hanya sebaris kalimat itu yang bisa terlontar, ketika Acha, anak lelakiku yang ketika itu berumur 4 tahun didiagnosa mengalami gejala autis.

Kaget bercampur sedih, namun itulah kenyataan yang harus saya terima ketika dokter Farida memeriksa dan mendiagnosa, bahwa Abdul Salam Ahmad Nur Khoir, anakku menyandang autisme.

Perasaanku bercampur aduk menerima kenyataan itu.

Hhhhhhhhhh….!! saya menarik nafas panjang.  Seketika saya berkeinginan dan berharap bisa terbebas dari semua rutinitas dan kesibukanku, saya merasa perlu mengumpulkan kekuatan yang lebih besar, supaya bisa memiliki  waktu yang lebih luang untuk menemani Acha, anakku dan Icha, adiknya.

“Ya Alloh, Apakah mungkin itu bisa saya lakukan? Lalu siapa yang akan mencari nafkah untuk keluarga?” demikian pertanyaan yang muncul.

“Ya Alloh apa mau-Mu dengan ini semua…?” teriakku hampir tidak percaya dengan kenyataan yang menimpa.

usia 4 tahun,sudah bisa minum pakai gelas.Sebelumnya, minum dengan gelas sesuatu yang sulit baginya.

usia 4 tahun,sudah bisa minum pakai gelas.Sebelumnya, minum dengan gelas sesuatu yang sulit baginya.

Butuh waktu lama untuk menenangkan diri, mencoba meredam gejolak rasa sambil berusaha tabah dan ikhlas menerima ujian ini. Dan tepat memasuki usia yang kelima tahun Acha-ku, saya menuliskan catatan ini, sekedar menumpahkan segala gundah dan resah yang membuncah di dada.

Saya berusaha tetap tegar tegak berdiri. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa memang tidak ada sesuatupun yang sempurna di dunia ini.

Meskipun kadangkala tanpa sadar kita selalu menuntut kesempurnaan dan seringkali sulit menerima hal-hal yang kurang.

Saya, anda dan kita semua para orang tua tentu ingin memiliki anak yang normal, ingin memiliki anak seperti orang lain, bahkan ingin lebih, ingin lebih hebat, ingin lebih baik, lebih dan lebih. Sehingga, begitu mendapatkan sesuatu yang di luar kebiasaan, berbeda dengan kenyataan yang umum, kitapun kadang sulit menerimanya.

“Kok bisa? kenapa terjadi? kenapa harus anak saya? apa salah saya? apa salah keluargaku?” Berderet pertanyaan panjang, seolah menghukum diri dan mencari kesalahan.

Kami mencurahkan perhatian pada perkembangannya. Kami mengajarkan banyak hal dan juga menerima pelajaran yang banyak darinya

Kami mencurahkan perhatian pada perkembangannya. Mengajarkan banyak hal sekaligus menerima pelajaran yang banyak darinya.

Bahwa tidak ada seorangpun yang mampu menghindari kenyataan hidup, tidak sesiapapun yang mampu lari dari kehendak Yang Maha Kuasa adalah sebuah kenyataan.

“Namun hidup harus berlanjut, hidup adalah perjuangan, dan Khairil, Kamu jangan menyerah,” teriakku dalam diri.

Ya, dan saya kembali tersadar, bahwa perjuangan harus dilanjutkan, hidup adalah perjuangan dan pengorbanan.

“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini,” lirik lagu D’Masiv itu seakan ikut mengingatkan dalam kealpaan saya.

Saya akan memimpin sekeluargaku untuk terus maju, tidak boleh menyerah.

“Umi, mari kita hadapi ini sebagai sebuah anugerah,”kataku kepada isteri, “saya yakin, inilah cara Tuhan menguji kita, membersihkan kotoran dan lumpur dosa kita, agar kita menjadi manusia yang berarti bagi sesama, minimal buat anggota keluarga kita.”

Ciri-ciri Autisme yang ada pada diri Acha

Paling suka dengan mainan yang berputar

Paling suka dengan mainan yang berputar

1, Tidak pernah peduli dengan anak-anak sebayanya, ketika teman-temannya sibuk bermain, Acha juga sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Acha seakan memiliki dunia sendiri.

2.Kadang tiba-tiba tertawa sendiri seakan-akan melihat sesuatu yang lucu.

3.Menghindari kontak mata, adalah salah satu ciri anak autis, tetapi Acha masih bisa melakukan kontak mata dengan orang yang mengajaknya bicara. Ini pula sebabnya, mengapa sebelumnya  tidak pernah menyangka kalau Acha mengalami autis.

4.Tahan sakit, juga merupakan ciri anak autis. Acha ketika usia 2 sampai 3,5 tahun termasuk anak yang tidak peka rasa sakit. Jatuh sekalipun, Acha tidak menangis, bahkan pernah jarinya teriris silet sampai berdarah tapi tidak menangis, bahkan dengan santai dia memainkan darah yang membanjir di telapak tangannya. Tapi sekarang di usianya memasuki tahun kelima, Acha sudah bisa merespon rasa sakit, misalnya ketika kepalanya terbentur, dia mengusap kepalanya sambil berkata “aduuuh..aduuuh”, berarti dia sudah bisa merasakan sakit. Atau kalau sedang berlari-lari dan terjatuh, dia mengusap lututnya sambil menangis.

Acha bermain bersama Icha,adiknya

Acha bermain bersama Icha,adiknya

5.Senang dengan sesuatu yang berputar. Permainan yang berputar adalah permainan kesukaan Acha, bahkan apapun yang dipegangnya selalu diputarnya.

6.Selain permainan yang berputar, Acha juga paling senang dengan sikat gigi. Acha akan menangis, bila sikat gigi yang dia mainkan direbut dari tangannya.

7.Anak autis tidak memiliki rasa takut. Persis dengan Acha, pernah suatu ketika Acha hampir ditabrak mobil karena mengejar umi yang menyeberang jalan akan membuang sampah. Untung saya dengan cepat menangkap lengannya. Terlambat satu detik saja acha disambar mobil.

8.Peka dengan suara.Ketika mendengar suara yang keras, semisal suara mesin, suara gemuruh dan suara mendesis, Acha akan menutup kuping dengan kedua tangannya.

9.Bila marah, atau menginginkan sesuatu kemudian dicegah dia akan menghempaskan kepalanya atau menggulingkan badannya di lantai.

10.Bila menginginkan sesuatu, dia akan memegang tangan kita dan menuntun kita pada sesuatu yang dia inginkan tanpa bicara.

11.Bicaranya tidak jelas dan tidak memiliki arti.

Mereka adalah anugerah yang terbaik untukku

Mereka adalah anugerah terbaik yang Alloh berikan untukku

Tapi Apapun dan bagaimanapun, Acha-ku adalah anakku, sama dengan Icha, adiknya serta Awaliyah, kakaknya. Mereka tetap istimewa bagiku, yang terbaik yang Alloh berikan  bagiku. Saya bangga pada kalian,Nak…!

Tetaplah bertumbuh, Anak-anakku…! saya akan selalu menemanimu…

—————————