Ambon – Sore itu Senin, hari kelima di bulan September 2011, bulan kesembilan saya berada di kota Ambon, dalam rangka tugas jurnalis untuk sebuah tabloid mingguan edisi Maluku. Di Ambon, saya menginap di rumah seorang kawan di lorong Mayang-Jl.Diponegoro, setelah memutuskan meninggalkan mess yang sekaligus berfungsi sebagai kantor redaksi “Utusan Rakyat” media yang mengutus saya datang ke Ambon, pada awal Januari 2011.
Diary kecilku
Rekan wartawan yang pernah sama-sama bekerja di SKU Utusan Rakyat, Niko Kastanja mengajak saya tinggal dengannya. Kebetulan di rumahnya, Niko hanya tinggal berdua dengan Mamanya yang sudah tua.
“Anas tinggal di beta pung rumah saa’. Beta pung mama sering sandirian tuu kalau beta ada pergi,”kata Niko.
Melihat kondisi dari tabloid yang tidak menentu, kadang terbit-kadang tidak terbit, begitupula gaji yang diberikan tidak sesuai dengan kesepakatan, maka saya memutuskan resign dari mingguan itu.
Untuk menyambung hidup selama berada di kota Ambon, saya bekerja di sebuah toko olah raga milik warga keturunan China. Enam bulan lamanya saya bekerja di Toko ‘Anugerah’ di jalan A.M.Sangadji itu, sekaligus mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Makassar.
Pemilik toko dan pegawai toko semuanya beragama Kristen, namun mereka cukup toleran, saya biasa melaksanakan sholat di gudang bagian belakang toko. Sholat Magrib adalah penutup aktivitas sebelum saya meninggalkan toko itu.
setelah resign dari media, kerja di toko untuk bekal pulang ke Makassar
Seperti Senin sore itu, setelah menunaikan sholat Magrib, saya segera mengemasi barang-barang dan pulang ke rumah Niko di lorong Mayang. Sebuah kawasan yang berada di tengah pemukiman Kristen dan diapit tiga gereja besar, gereja Silo di sebelah barat, gereja ini cukup terkenal di kota Ambon. Di sebelah selatan terdapat gereja Hok Im Tong, gereja yang dibangun oleh warga keturunan China, dan gereja Katederal di sebelah Timur.
Suasana lorong Mayang minim penerangan, hanya penerangan dari teras rumah warga yang menyumbangkan sedikit cahaya di lorong sempit menuju rumah Niko berada.
Sebuah bengkel pencucian kendaraan, tepat berhadapan dengan rumah Niko. Bengkel yang buka siang hari itu digunakan sebagai tempat nongkrong oleh sejumlah pemuda di malam hari.
Malam itu, suasana bengkel terlihat sepi, seseorang terlihat samar-samar berdiri di depan bengkel, mungkin sedang menunggu teman-temannya datang berkumpul.
“Permisi,Bang,” kata saya menyapa.
Orang itu hanya diam melihat saya melintas, dan baru menegur ketika saya berusaha membuka pintu rumah, sebuah teguran yang terdengar cukup keras dan kurang bersahabat.
“Hee, ose panjat orang pung pagar, see mau mancuri kapa’ eee?”katanya
“Seng, Bang! Beta tinggal di rumah ini, beta Niko pung tamang,” jawab saya.
Orang itu mendekat, saya dapat melihat sosok yang besar dan tinggi, sepadan dengan suaranya yang makin meninggi,
Gereja SILO, kota Ambon – Suasana magrib
”ose bohong, beta lihat ose panjat orang pung pagar, se tau kaseng, ini katong pung linkungan,” teriaknya.
Dari mulutnya tercium bau alkohol. Saya fikir akan percuma meladeni orang yang sedang kehilangan akal sehat ini, posisi saya yang berada di tengah-tengah kawasan mereka juga sangat tidak menguntungkan.
Saya hanya bisa diam ditempat, satu-satunya harapan saya adalah, Niko mendengar suara ribut-ribut itu dan segera keluar.
“See, pasti bukan orang Ambon, se dar mana eee…?” kembali orang itu bertanya dengan suara keras, beberapa orang warga keluar dari rumah, begitu pula sejumlah pemuda sudah mulai berdatangan dan segera berkerumun di sekeliling saya.
Nongkrong di jalan, kumpul dan minum sebagai pengisi waktu malam bagi sebagian pemuda dan warga Ambon
“Saya temannya Niko dari Makassar, Bang !” jawab saya.
“Aeeee cuk*ma*….kanapa orang Makassar paling banyak datang ka Ambon eee…apa orang Makassar saa yang paling pandai eee…..? apa se kira katong samua orang paling bodoh kapa’ eee….?”
Lorong sempit dan gelap itu seketika menjadi ramai. Saya tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali diam di tempat dan berdoa.
“Ya Alloh, saya mohon selamatkan saya dari tempat ini. Kalau memang ajal saya tiba, hamba mohon jangan di tempat seperti ini, Ya Alloh,” bathin saya pasrah.
Niko, beta pung kawan di Ambon
Tiba-tiba pintu rumah Niko terbuka, Mama Niko keluar. Wanita tua dan sedikit tuli itu heran melihat banyak orang berkumpul di depan rumahnya. Rupanya dia kebetulan saja keluar untuk mencari Niko. Wanita itu segera mengenali saya yang berdiri dekat pintu masuk.
“Eh, Daeng supulang ee, kanapa seng masuk rumah? Niko ada peggi belum pulang laii. Beta mau cari doo, Daeng masuk saa,” katanya.
Tapi teguran Mama Niko itu ternyata tidak membantu meredam emosi para pemuda dan warga. Meskipun Mama Niko jelas mengajak saya masuk rumah, orang-orang itu tetap menahan saya, sementara yang lain mendorong Mama Niko masuk ke dalam rumah kembali.
“Mama masuk saa…masuk Mama…jang kaluar laii…!!!” perintah mereka.
Mama Niko pun akhirnya masuk, sementara saya kembali dalam posisi terkurung di tengah warga. Saya berdiri pasrah, saya berserah diri sambil berdoa, “Ya Alloh, kedatangan saya ke Ambon ini adalah untuk bekerja, untuk menafkahi keluarga, saya niati sebagai ibadah, sebagai bentuk kewajiban saya sebagai kepala keluarga. Ya Alloh, saya yakin Engkau tidak mungkin membiarkan saya mati konyol di tempat ini,”
Tiba-tiba melintas seorang pengendara sepeda motor dan berhenti di kerumunan warga. Samar-samar saya melihat orang itu adalah security di salah satu Bank yang berada tidak jauh dari tempat itu. Kebetulan saya adalah nasabah Bank tempatnya bekerja, dan Alhamdulillah, rupanya dia mengenali saya.
Konflik Sosial, Pengeroyokan selalu menjadi pemicunya — Foto,diambil dari lantai 2 toko Anugerah, Jl.AM.Sangadji-Ambon
Security yang selalu menyapa dan membukakan pintu ketika saya datang ke Bank untuk menyetor uang atau ketika akan mentransfer uang ke Umi dan anak-anakku yang ada di Palopo, Sulawesi selatan.
“Eh…Abang Khairil, ada apa ini?” katanya setelah turun dari sepeda motornya dan menyeruak di antara kerumunan.
“Ini, Bang! Abang-abang ini salah faham, disangkanya saya ingin membobol rumah Bang Niko. Saya sudah jelaskan bahwa saya temannya Bang Niko dan tinggal di sini, tapi rupanya Abang-abang ini tidak mau mengerti.” Jawab saya.
Bapak Security tadi lalu berbalik kepada orang mabuk tadi, saya dapat mendengar kata-katanya. “Eh, sudahlah, ale-ale bubar sa’ samua, Abang ini Niko pung tamang, beta kanal ini Abang, beta pung tamang juga.”
Setelah berkata begitu, Bapak security tadi segera menarik tangan saya naik motor bersamanya. Beberapa orang berusaha mencegah, tapi security itu segera melarikan sepeda motornya meninggalkan kerumunan warga, keluar dari lorong kecil itu menuju jalan raya menjauh dari kawasan tersebut.
“Abang sekarang suh selamat, lain kali hati-hati, Bang,” katanya setelah saya turun dari motornya.
Berkali-kali saya mengucapkan terima kasih kepada Security Bank, yang saya lupa namanya itu, ”Terima kasih banyak, Bang! Saya tidak tahu apa yang akan menimpa saya, andaikata Abang tidak menolong saya tadi,” kata saya.
“Sudahlah,Bang! Lupakan saa’. Betapun seng tau, mengapa tiba-tiba lewat situ tadi, beta seng pernah lewat situ sebab gelap, tapi rupanya Tuhan sengaja suruh beta lewat untuk salamatkan Abang.”katanya. “Sekarang Abang mau kemana?”lanjutnya.
“Insya Alloh, malam ini saya nginap di rumah kawan di Tantui, Bang!” jawabku.
Tugu Gong Perdamaian Dunia di jantung kota Ambon,Maluku.
Malam itu saya menginap di Markas Komando Senkom Maluku di Tantui. Semalaman saya tidak bisa tidur, ngeri membayangkan peristiwa yang baru saya alami.
Saya memanfaatkan malam itu untuk sholat malam, memanjatkan doa dan pujian syukur kapada Alloh. Besoknya, pagi-pagi sekali sebelum ke toko tempat saya bekerja, saya menyempatkan singgah ke rumah Niko memeriksa barang-barang dan pakaian, Alhamdulillah semua masih utuh.
Sebuah pengalaman yang sulit untuk saya lupakan. Beberapa hari setelah kejadian itu, tepatnya Sabtu malam, 10 September 2011, seorang tukang ojek muslim ditemukan tewas di sebuah kawasan Kristen di Gunung Nona. Tersebar kabar, tukang ojek itu dikeroyok dan dibunuh sejumlah pemuda mabuk ketika pulang dari mengantar penumpangnya. Mayatnya ditemukan petugas kebersihan kota di sebuah container sampah, pada Minggu pagi esok harinya.
Peristiwa itulah yang memicu meletusnya konflik SARA pada Minggu,11 September 2011. Ambon kembali berdarah.
———————–